Senin, 29 September 2008

CINTA ATAS PERAHU CADIK


Bersama dengan datangnya pagi maka air laut di tepi pantai itu segera menjadi hijau. Hayati yang biasa memikul air sejak subuh, sambil menuruni tebing bisa melihat bebatuan di dasar pantai yang tampak kabur di bawah permukaan air laut yang hijau itu. Cahaya keemasan matahari pagi menyapu pantai, membuat pasir yang basah berkilat keemasan setiap kali lidah ombak kembali surut ke laut. Onggokan batu karang yang kadang-kadang menyerupai perahu tetap teronggok sejak semalam, sejak bertahun, sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Bukankah memang perlu waktu jutaan tahun bagi angin untuk membentuk dinding karang menjadi onggokan batu yang mirip dengan sebuah perahu.


Para nelayan memang hanya tahu perahu. Bulan sabit mereka hubungkan dengan perahu, gugusan bintang mereka hubung-hubungkan dengan cadik penyeimbang perahu, seolah-olah angkasa raya adalah ruang pelayaran bagi perahu-perahu seperti yang mereka miliki, bahkan atap rumah-rumah mereka dibuat seperti ujung-ujung perahu. Tentu, bagaimana mungkin kehidupan para nelayan dilepaskan dari perahu?

Hayati masih terus menuruni tebing setengah berlari dengan pikulan air pada bahunya. Kakinya yang telanjang bagaikan mempunyai alat perekat, melangkah di atas batu-batu hitam berlumut tanpa pernah terpeleset sama sekali, sekaligus bagaikan terlapis karet atau plastik alas sepatu karena seolah tidak berasa sedikit pun juga ketika menapak di atas batu-batu karang yang tajam tiada berperi.

"Sukab! Tunggu aku!"

Di pantai, tiba-tiba terdengar derum suara mesin.

"Cepatlah!" ujar lelaki bernama Sukab itu.

Ternyata Hayati tidak langsung menuju ke perahu bermesin tempel tersebut, melainkan berlari dengan pikulan air yang berat di bahunya itu. Hayati berlari begitu cepat, seolah-olah beban di bahunya tiada mempunyai arti sama sekali. Ia meletakkannya begitu saja di samping gubuknya, lantas berlari kembali ke arah perahu Sukab.

"Hayati! Mau ke mana?"

Seorang nenek tua muncul di pintu gubuk. Terlihat Hayati mengangkat kainnya dan berlari cepat sekali. Lidah-lidah ombak berkecipak dalam laju lari Hayati. Wajahnya begitu cerah menembus angin yang selalu ribut, yang selalu memberi kesan betapa sesuatu sedang terjadi. Seekor anjing bangkit dari lamunannya yang panjang, lantas melangkah ringan sepanjang pantai yang pada pagi itu baru memperlihatkan jejak-jejak kaki Sukab dan Hayati.

Perahu Sukab melaju ke tengah laut. Seorang lelaki muncul dari dalam gubuk.

"Ke mana Hayati, Mak?"

Nenek tua itu menoleh dengan kesal.

"Pergi bersama Sukab tentunya! Kejar sana ke tengah laut! Lelaki apa kau ini! Sudah tahu istri dibawa orang, bukannya mengamuk malah merestui!"

Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala.

"Hayati dan Sukab saling mencintai, kami akan bercerai dan biarlah dia bahagia menikahi Sukab, aku juga sudah bicara kepadanya."

Nenek yang sudah bungkuk itu mengibaskan tangan.

"Dullaaaaah! Dullah! Suami lain sudah mencabut badik dan mengeluarkan usus Sukab jahanam itu!"

Lelaki yang agaknya bernama Dullah itu masuk kembali, masih terdengar suaranya sambil tertawa dari dalam gubuk.

"Cabut badik? Heheheh. Itu sudah tidak musim lagi Mak! Lebih baik cari istri lain! Tapi aku lebih suka nonton tivi!"

Angin bertiup kencang, sangat kencang, dan memang selalu kencang di pantai itu. Perahu Sukab yang juga bercadik melaju bersama cinta membara di atasnya.

Pada akhir hari setelah senja menggelap, burung-burung camar menghilang, dan perahu-perahu lain telah berjajar-jajar kembali di pantai sepanjang kampung nelayan itu, perahu Sukab belum juga kelihatan.

Menjelang tengah malam, nenek tua itu pergi dari satu gubuk ke gubuk lain, menanyakan apakah mereka melihat perahu Sukab yang membawa Hayati di atasnya. Jawaban mereka bermacam-macam, tetapi membentuk suatu rangkaian.

"Ya, kulihat perahu Sukab menyalipku dengan Hayati di atasnya. Kulihat mereka tertawa-tawa."

"Perahu Sukab menyalipku, kulihat Hayati menyuapi Sukab dengan nasi kuning dan mereka tampaknya sangat bahagia."

"Oh, ya, jadi itu perahu Sukab! Kulihat perahu berlayar kumal itu menuruti angin, mesinnya sudah mati, tetapi tidak tampak seorang pun di atasnya."

Nenek itu memaki.

"Istri orang di perahu suami orang! Keterlaluan!"

Namun ia masih mengetuk pintu gubuk-gubuk yang lain.

"Aku lihat perahunya, tetapi tidak seorang pun di atasnya. Bukankah memang selalu begitu jika Hayati berada di perahu Sukab?"

"Ya, tidakkah selalu begitu? Kalau Hayati naik perahu Sukab, bukannya tambah penumpang, tetapi orangnya malah berkurang?"

Melangkah sepanjang pantai sembari menghindari air pasang, nenek tua itu menggerundal sendirian.

"Bermain cinta di atas perahu! Perbuatan yang mengundang kutukan!"

Ia menuju gubuk Sukab. Seorang anak perempuan yang rambutnya merah membuka pintu itu, di dalam terlihat istri Sukab terkapar meriang karena malaria.

"Waleh! Apa kau tahu Sukab pergi dengan Hayati?"

Perempuan bernama Waleh itu menggigil di dalam kain batik yang lusuh, mulutnya bergemeletuk seperti sebuah mesin. Wajahnya pucat, berkeringat, dan di dahinya tertempel sebuah koyo. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Nenek tua itu melihat ke sekeliling. Isinya sama saja dengan isi semua gubuk nelayan yang lain. Dipan yang buruk, lemari kayu yang buruk, pakaian yang buruk tergantung di sana-sini, meja buruk, kursi buruk, dan jala di dinding kayu, berikut pancing dan bubu. Ada juga pesawat televisi, tetapi tampaknya sudah mati. Alas kaki yang serba buruk, tentu saja tidak ada sepatu, hanya sandal jepit yang jebol. Sebuah foto pasangan bintang film India, lelaki dan perempuan yang sedang tertawa dengan mata genit, dari sebuah penanggalan yang sudah bertahun-tahun lewat.

Ia tidak melihat sesuatu pun yang aneh, tapi mungkin ada juga yang lain. Sebuah foto Bung Karno yang usang dan tampak terlalu besar untuk rumah gubuk ini, di dalam sebuah bingkai kaca yang juga kotor. Nyamuk berterbangan masuk karena pintu dibuka.

Pandangan nenek tua itu tertumbuk kepada anak perempuan yang menatapnya.

"Mana Bapakmu?"

Anak itu hanya menunjuk ke arah suara laut, ombak yang berdebur dan mengempas dengan ganas.

Nenek itu lagi-lagi menggelengkan kepala.

"Anak apa ini? Umur lima tahun belum juga bisa bicara!"

Waleh hanya menggigil di balik kain batik lusuh bergambar kupu-kupu dan burung hong. Giginya tambah gemeletuk dalam perputaran roda-roda mesin malaria.

Nenek itu sudah mau melangkah keluar dengan putus asa, ketika terdengar suara lemah dari balik gigi yang gemeletuk itu.

"Aku sudah tahu?"

"Apa yang kamu sudah tahu, Waleh?"

"Tentang mereka?"

Nenek itu mendengus.

"Ya, kamu tahu dan tidak berbuat apa-apa! Dulu suamiku pergi ke kota dengan Wiji, begitu pulang kujambak rambutnya dan kuseret dia sepanjang pantai, dan suamiku masuk rumah sakit karena badik suami Wiji. Masih juga mereka berlayar dan tidak pulang kembali! Semua orang yang melaut bilang tidak melihat sesuatu pun di atas perahu ketika melewati mereka, tapi ada yang hanya melihat perempuan jalang itu tidak memakai apa-apa meski suamiku tidak kelihatan di bawahnya! Mengerti kamu?"

Waleh yang menggigil hanya memandangnya, seperti sudah tidak sanggup berpikir lagi.

"Aku hanya mau bukti bahwa menantuku mati karena pergi dengan lelaki bukan suaminya dan bermain cinta di atas perahu! Alam tidak akan pernah keliru! Hanya para pendosa akan menjadi korban kutukannya! Tapi kamu rugi belum menghukum si jalang Hayati!"

Mendengar ucapan itu, Waleh tampak berusaha keras melawan malarianya agar bisa berbicara.

"Aku memang hanya orang kampung, Ibu, tetapi aku tidak mau menjadi orang kampungan yang mengumbar amarah menggebu-gebu. Kudoakan suamiku pulang dengan selamat?dan jika dia bahagia bersama Hayati, melalui perceraian, agama kita telah memberi jalan agar mereka bisa dikukuhkan."

Waleh yang seperti telah mengeluarkan segenap daya hidupnya untuk mengeluarkan kata-kata seperti itu, langsung menggigil dan mulutnya bergemeletukan kembali, matanya terpejam tak dibuka-bukanya lagi.

Nenek tua itu terdiam.

Hari pertama, kedua, dan ketiga setelah perahu Sukab tidak juga kembali, orang-orang di kampung nelayan itu masih membayangkan, bahwa jika bukan perahu Sukab muncul kembali di cakrawala, maka tentu mayat Sukab atau Hayati akan tiba-tiba menggelinding dilemparkan ombak ke pantai. Namun karena tidak satu pun dari ketiganya muncul kembali, mereka percaya perahu Sukab terseret ombak ke seberang benua. Hal itu selalu mungkin dan sangat mungkin, karena memang sering terjadi. Mereka bisa terseret ombak ke sebuah negeri lain dan kembali dengan pesawat terbang, atau memang hilang selama-lamanya tanpa kejelasan lagi.

"Aku orang terakhir yang melihat Sukab dan Hayati di kejauhan, perahu mereka jauh melewati batas pencarian ikan kita," kata seseorang.

"Sukab penombak ikan paling ahli di kampung ini, sejak dulu ia selalu berlayar sendiri, mana mau ia mencari ikan bersama kita," sahut yang lain, "apalagi jika di perahunya ada Hayati."

"Apakah mereka bercinta di atas perahu?"

"Saat kulihat tentu tidak, banyak lumba-lumba melompat di samping perahu mereka."

Segalanya mungkin terjadi. Juga mereka percaya bahwa mungkin juga Sukab dan Hayati telah bermain cinta di atas perahu dan seharusnya tahu pasti apa yang akan mereka alami.

Di pantai, kadang-kadang tampak Waleh menggandeng anak perempuannya yang bisu, menyusuri pantulan senja yang menguasai langit pada pasir basah. Kadang-kadang pula tampak Dullah yang menyusuri pantai saat para nelayan kembali, mereka seperti masih berharap dan menanti siapa tahu perahu cadik yang berisi Sukab dan Hayati itu kembali. Namun setelah hari keempat, tidak seorang pun dari para nelayan di kampung itu mengharapkan Sukab dan Hayati akan kembali.

"Kukira mereka tidak akan kembali, mungkin bukan mati, tetapi kawin lari ke sebuah pulau entah di mana. Kalian tahu seperti apa orang yang dimabuk cinta?"

***

Namun pada suatu malam, pada hari ketujuh, di tengah angin yang selalu ribut terlihat perahu Sukab mendarat juga, Hayati melompat turun begitu lunas perahu menggeser bibir pantai dan mendorong perahu itu sendirian ke atas pasir sebelum membuang jangkar kecilnya. Sukab tampak lemas di atas perahu. Di tubuh perahu itu terikat seekor ikan besar yang lebih besar dari perahu mereka, yang tentu saja sudah mati dan bau amisnya menyengat sekali. Tombak ikan bertali milik Sukab tampak menancap di punggungnya yang berdarah?tentu ikan besar ini yang telah menyeret mereka berdua selama ini, setelah bahan bakar untuk mesinnya habis.

Hayati tampak lebih kurus dari biasa dan keadaan mereka berdua memang lusuh sekali. Kulit terbakar, pakaian basah kuyup, dan gigi keduanya jika terlihat tentu sudah kuning sekali?tetapi mata keduanya menyala-nyala karena semangat hidup yang kuat serta api cinta yang membara. Keduanya terdiam saling memandang. Keduanya mengerti, cerita tentang ikan besar ini akan berujung kepada perceraian mereka masing-masing, yang dengan ini tak bisa dihindari lagi.

Namun keduanya juga mengerti, betapa bukan urusan siapa pun bahwa mereka telah bercinta di atas perahu cadik ini.

LAMPU IBU

Akhirnya bunda datang juga ke Jakarta, didampingi seorang cucu. Kami tidak bisa lagi menutup mata serta telinga beliau. Kasus dan sakitnya abangku, Palinggam, telah disiarkan koran dan televisi. Tak dapat lagi ditutup-tutupi dari bunda.

"Antar aku dulu menengok abangmu," ujar beliau saat kujemput di SoekarnoHatta. "Besok-besok aku menginap di rumah si Nina." Ia selalu menyebut rumah anak lelakinya dengan nama menantu, dan memanggil anak-anak kami "cucuku". "Nina dan cucu-cucuku sehat?"

"Sehat," kubilang. "Baiknya Bunda istirahat dulu. Nanti sore kuantar?."

"Tak penat aku!" tukasnya keheng, keras kepala. "Terus sajalah."

Aku lalu diam dan terus menyetir. Kapan pula dia merasa penat? Meski umur 80 dan tubuh makin ciut, stamina dan kegesitannya seolah tak berubah. Masih keliling ke berbagai kota bahkan pulau; melihat anak, cucu, dan cicit. Masih pasang mata dan telinga baik-baik, mengikuti perkembangan mereka. Di hari baik bulan baik bagi yang bersangkutan (ulang tahun, naik kelas, tamat kuliah, naik jabatan), melayang suratnya dengan tulisan halus-tebal model masa lalu. Isinya ucapan selamat, doa, harapan, juga nasihat. Tempo-tempo, jika ia tahu, terlibat pula dia menyelesaikan beragam masalah.

Makanya, kadang kubayangkan urat saraf bunda lebih rimbun dan juga lebih canggih dari kami, tujuh anaknya, yang semua sarjana bahkan dua doktor pula. Urat-urat saraf itu tak henti berdenyut, seperti jantung kita, atau kedap-kedip serupa kabel di pusat telepon. Tiap denyut adalah pantauan sekaligus hubungan dengan anak, cucu, dan cicit yang makin banyak. Dengan masalah yang juga tambah banyak. Justru itu, telah lama kami hindarkan kabar buruk dari beliau, menutup-nutupinya, karena belum siap melihat denyut itu tiba-tiba terhenti. Namun abangku, Palinggam....

Aku menarik napas, sambil terus melaju di jalan tol. Apa yang bakal terjadi ketika bunda berjumpa abangku itu nanti? Tanpa sadar aku menggeleng, tidak berani membayangkan. Dan saat kulirik ke samping, mata bunda terpejam. Tapi, pasti beliau tidak tidur. Merenung? Berpikir-pikir? Lewat kaca spion, kulihat keponakanku di jok belakang. Senyam-senyum, manggut-manggut, agaknya melantunkan nyanyian riang dalam hati, laiknya anak muda.

"Libur kau, Man?" tanyaku mengalihkan pikiran yang melayang saja ke mana-mana.

Ia tergeragap. "Oh. Ya. Libur, Om. Seminggu!"

"Kuliahmu lancar?"

"Lancar." Ia cengar-cengir. Tahun lalu, seminggu ia menginap di kantor polisi. Seluruh keluarga heboh, panik. Di kantong celana kawannya ditemukan polisi ekstasi. Mereka semobil, berempat. Semuanya digaruk. Bunda tentu tidak diberi tahu. "Sudah dua hari tidak kulihat cucuku, si Herman. Ke mana dia?" tanya beliau suatu pagi.

"Naik gunung," jawab Kak Leila. "Diajak kawan-kawannya."

"Cuaca buruk, kau biarkan anak naik gunung?"

"Ala, tak apa-apa Bunda," adikku Rosa menyahut. Maksudnya membantu Kak Leila. "Biasa itu, anak laki-laki."

"Eh, sejak kapan alam berubah hanya memperdaya perempuan?" ujar bunda.

Rosa langsung diam, ingat suami yang jarang pulang. Kak Leila berpura sibuk. Dan saat Herman pulang, nenek yang risau itu memanggilnya, berucap lunak, "Elok-elok kau jalani umur muda Herman. Pandai-pandai mencari kawan. Kawan yang baik, Nak, tak mengundang datangnya mudarat. Lihat, kurusnya engkau. Pucat pula, serupa mayat!" Herman kabarnya menangis, ingat pengalaman bermalam di kantor polisi.

Mata bunda kulihat sudah terbuka lagi, menatap aspal jalanan yang berpendar disinari matahari pagi. Dan kendaraan-kendaraan yang berkilau seliweran di jalan tol. Kami sudah di Jelambar, tak lama lagi Grogol. Lalu Slipi.

"Kurang dingin AC-nya Bunda?"

"Cukup." Dan diam lagi, memandang jalanan.

Apa gerangan yang terlintas dalam pikirannya? Anak cucu yang tak membawa kabar baik, pada usia senja? Merasa gagal, sebab sendiri saja membesarkan kami? Ah. Betapa ingin kusampaikan bahwa dia ibu yang perkasa, tangguh, dan berhasil. Tujuh anak yang masih sekolah saat suami wafat telah ia bekali, disekolahkan hingga tinggi, dengan uang hasil pensiun serta kedai rempah. Agar mereka jadi manusia. Masalah kami hari ini dengan begitu tak perlu lagi menjadi beban beliau. Pun ulah cucu, anak-anak kami. Atau, baginya tugas ibu tamat seiring perginya hayat dari badan? Sebab di situ beda ibu manusia dengan induk ayam dan kucing, seperti pernah dia ucapkan?

"Bagaimana abangmu sekarang?" Bunda melepas pandang dari jalanan.

"Baik saja. Tak apa-apa," kubilang.

"Masuk rumah sakit, dituduh korupsi, kau bilang tak apa-apa?" suaranya bagai berasal dari tempat yang jauh. "Apa maksudmu?"

"Maksudku, o, pulang dari rumah sakit." Tiba-tiba aku jadi gugup. Dan bunda menyergap pula, "Sudah pulang abangmu dari rumah sakit? Pura-pura sakit saja dia, seperti orang-orang itu?"

Aku makin gugup. Ingin kencing. Dalam hati kembali kumaki-maki abangku, Palinggam. Dan bunda tetap menoleh, menanti jawaban. Syukur, HP-ku lalu berbunyi. Dari istriku. "Sudah, sudah," kubilang. "Lagi di jalan. Bunda? Sehat. O, bicara sendiri saja." Kusodorkan HP ke bunda. "Nina, Bunda. Mau bicara." Mudah-mudahan lama, tambahku tanpa suara. Obrolan panjang. Biar dia lupa bertanya.

Lalu, suara bunda: "Nina? O, sehat Nak. Alhamdulillah. Ini, masih kuat aku ke Jakarta. Kalian bagaimana? Syukurlah. Mana cucu-cucuku? Oh. Kau sudah di kantor! Bawa mereka nanti ke rumah kakakmu Andamsari. Ya? Besok-besok, Nak. Aku lihat abang kalian itu dulu?."

"Apa kata Nina, Bunda?" Kudului dia bertanya saat pembicaraan itu berakhir.

"Biasalah," ia bilang. "Tanya kesehatanku. Eh, sibuk benar kudengar istrimu."

"Nina manajer pemasaran, Bunda."

"Dan kau sibuk pula. Sering ke luar kota. Ke luar negeri juga. Terpikir olehku, Nak, masih punya waktu kalian buat cucu-cucuku?"

Aku tertegun. Kemudian tertawa. Namun boleh jadi berlebihan, karena bunda lantas bertanya, "Mengapa kau ketawa?"

"Tentu punya waktu," kataku. "Buktinya aku kini tak ke mana-mana, Bunda."

"Bukan hanya karena hendak menjemputku?"

Aku menggeleng. "Syukurlah," ujarnya. "Aku cuma khawatir. Cucuku, si Aya, sudah gadis bukan? Sudah SMP. Jangan pula dia alami seperti keponakanmu, Aida."

Aku diam kembali. Anak gadis kakakku, Aida, sekali waktu lenyap dari rumah mereka di Batam. Kakak dan abang iparku kalang kabut. Mereka tahu sehari setelah kejadian, pulang dari Singapura. Dicari serta ditanya ke mana-mana, Aida tak jumpa. Semua saudara dihubungi, termasuk Kak Meinar di Medan dan kami di Jakarta. Aida, siswi SMU kelas dua itu, ditemukan adikku Rafli di pantai Padang, bersama pacarnya. Syukur dua remaja itu sungguh sekadar berjalan-jalan. Tapi, bunda yang tadinya tidak tahu curiga melihat semua orang sibuk kasak-kusuk. "Jangan kalian berahasia lagi. Ceritakan apa yang terjadi!" katanya meradang.

Ketika kejadian itu diceritakan setelah diedit dibagusi, alis bunda tetap bertaut. "Kakak-kakak kalian itu yang salah jalan!" ujarnya keras. "Sibuk terus. Harta meruah, tak juga puas. Anak dibiarkan tumbuh sendiri. Tahu kalian, hah, anak ayam saja tidak seburuk itu nasibnya!"

Kami sudah tiba di Semanggi. Aku berbelok, meluncur mulus ke Kebayoran, bebas dari sesak kendaraan yang padat-merayap ke arah Thamrin-Kota. Dan, rumah abangku sepi saja di luar. Pagar maupun gerbangnya tertutup, seperti biasanya. Tetapi di halaman dalam terlihat sejumlah orang. Termasuk polisi, tanpa seragam. Mungkin berjaga-jaga dari demonstran, atau khawatir abangku raib tak ketahuan rimbanya.

Aku terus melaju ke sayap kanan, berhenti di tempat parkir khusus keluarga. Kakak iparku, Andamsari, sudah menanti di teras. Lalu ia mendekat. Memeluk bunda, menangis tersedu. Pembantu bergegas mengangkut bawaan bunda. Aku tergopoh ke toilet, melepas urine yang hendak meledak. Dan HP-ku kembali bernyanyi. Nina lagi. "Sudah sampai belum?"

"Sudah, sudah."

"Bagaimana bunda? Bang Palinggam, Kak Andam?" tanyanya antusias.

"Belum tahu. Aku di kakus, kencing."

"Dasar!"

"Tapi kayaknya tidak apa-apa. Bunda sekarang tampaknya banyak diam. Nanti saja aku kabari."

Mereka duduk bertiga di ruang keluarga. Acara bertangisan agaknya telah usai sewaktu aku mendekat ke ruangan itu. Suara Bang Palinggam terdengar pelan, sayu, seperti minta dimaafkan. "Namun hingga detik ini, Bunda, aku tetap bersih. Terkutuk aku bila mendustai Bunda," dia bilang.

"Kalau begitu, mengapa kau mengelak diperiksa, Nak? Kenapa berpura sakit? Mengapa tidak kau beberkan saja semuanya?"

"Tidak sesederhana itu, Bunda."

"Di mana rumitnya?"

Tidak terdengar suara. Aku muncul. Abangku melirik. Menarik napas, melihat bunda lagi. Mukanya kuyu. Loyo. "Aku punya atasan, Bunda," ujarnya bak mengadu. Suaranya makin lunak, hampir menyerupai bisik. "Aku punya kawan. Aku juga kader partai.?"

Bunda diam. Juga aku serta Kak Andam. Dan lapat-lapat kudengar suara sunyi merayap, entah dibawa udara dari bumi yang mana.

"Tak paham aku soal-soal begitu, Palinggam," sahut bunda kemudian. "Tetapi bagiku, Nak, yang benar harus disampaikan sekalipun pahit. Kalaupun akibatnya kau diberhentikan bekerja, dipecat partaimu, bagiku itu lebih baik daripada kau berkhianat pada kebenaran, pada hatimu sendiri. Juga kepada Tuhan. Dan negeri ini, yang sedikit banyak ikut dibela ayahmu dari penjajah."

Bang Palinggam terpana menatap bunda. Matanya perlahan berkaca-kaca. Dia menunduk. Mengangkat muka lagi, memandang bunda. Rasanya, aku tahu sekarang dari mana sunyi itu berasal.

"Kalian sekarang memang bukan lagi anakku yang dulu." Bunda mengedarkan senyum, juga kepadaku. "Apalagi kau, Palinggam, kini sudah bercucu pula. Namun takdir seorang ibu, Nak, selalu terdorong menyalakan lampu hingga akhir hayatnya."

Sampai di situ mataku terasa jadi panas. Mata Bang Palinggam kian berkaca-kaca. Dan aku merasa, itu isyarat dari abangku; bagai kelap-kelip mercu suar di malam gulita penuh badai.***

Minggu, 28 September 2008

PEREMPUAN DARI KOTA SYURGAWI


PEREMPUAN 1

Debu-debu yang beterbangan dari tanah Khaibar bukan boleh menyurutkan tekadku untuk menumbangkan musyrikin. Tajam panah serta pintar pemain pedang musuh, sebenarnya sesuatu yang tidak baru dan tidak menarik lagi bagiku dan aku tidak gentar dengan petah pantas permainan itu. Telah banyak aku memasuki medan pertempuran dan aku melihat dengan mata hatiku bahawa kemenangan di bahu kananku dan bukan ketewasan. Dan aku yakin saungguh-sungguh. Kali ini juga aku akan menang kerana tanah Khaibar sebenarnya untuk ku.

Akan ku tentang musyrikin kalau pun tidak dengan panah dan pedang mungkin dengan batu tetapi batu yang terbaik dari Bukit Uhud. Aku akan pancung musuh kalau pun tidak dengan pedangku mungkin dengan dengan pedang milik Tariq Bin Ziyad. Akan aku panah musyrikin kalau bukan dengan panah dari suamiku, aku akan gunakan panah kepunyaan Saad Bin Ubaid. Kalau tidak ada panah kepunyaan Saad Bin Ubaid akan aku gunakan pedang milik Abdullah Bin Rawahah. Kalau pedang milik Panglima yang gagah itu juga tidak ada, aku akan gunakan pedang milik Saidina Hamzah. Biar musyrikin tahu. Islam gah bukan kerana seorang pahlawan. Serikandi mereka sebenarnya ramai dan aku antara srikandi itu yang akan memancung kepala musyrikin seorang demi seorang. Gemilang pahlawan Islam itu sentiasa hidup di dalam hatiku. Cemerlang mereka menjadikan aku bersemangat untuk turun ke tanah Khaibar. Telah lama aku iqrakan di dalam hati. Tanah Khaibar tetap milik ku walapu apa pun yang terjadi.

“Kau tak takut dengan musuh?” soal sahabat. Ada peluh di dahinya ketika debu-debu beterbangan memenuhi mukanya.

“Tidak!” jawab perempuan dari tanah Khaibar. Ada juga peluh bergantungan di dagunya.

“Mereka pemanah yang tepat. Apa lagi pantas bermain pedang,” sambung sahabat lagi.

“Manusia tetap dengan kekurangan dan kelemahannya. Akan aku gunakan peluang tu untuk jadikan kemenangan tu miliku,” sambung perempuan dari tanah Khaibar itu lagi. Dia memegang hulu pedang kemas-kemas sepertimana dia memegang kepala musuh yang bakal dipancungnya.

“Panah...”

“Akan ku himpun panah musuh. Aku akan patah-patahkan panah mereka kemudian aku akan sumbat panah tersebut ke bawah dapur buat memasak gandum bagi dihidangkan kepada suamiku dan pahlawan yang hebat di medan peperangan,” kata perempuan dari tanah Khaibar itu lagi.

Sahabat diam cuma. Sambil mengacip bibirnya dia melepaskan keluhan kecil. Sesekali dia merenung pedang yang tersisip di pinggang perempuan yang memiliki kemahiran memanah serta ilmu kejururawatan itu. Langit jernih jilah walapun sesekali ada debu beterbangan melintas muka mereka.

“Ambillah ini.”

“Kurma?”

“Kurma ni dibagikan kepada setiap pahlawan Islam.”

“Tapi...”

“Makanlah. Ada barakah di dalam kurma ni.”

Perempuan dari tanah Khaibar mengeluh. Peluh yang bergantungan di dagunya gugur ke dalam debu dan batu.

“Iqralah dalam hati bahawa perjuangan penuh tertib dan sopan ni sebenarnya milik Islam dan bukan milik agama lain,” sambung sahabat lagi.

Perempuan dari tanah Khaibar menelan liurnya.

“Setiap pahlawan memakan kurma ni,” sahabat membiarkan peluh bergantung di dagunya.

Perempuan dari tanah Khaibar tersenyum. Ternyata ungkapan dari sahabat yang terluka di bahu adalah sesuatu yang benar dan jujur. Tanpa berlengah dia memakan buah kurma tersebut. Saat dia menikmati isi kurma itulah ada panah-panah jauh yang datang dan mencucuk batu serta tanah-tanah di kawasan rehatnya.

Tanpa berlengah perempuan dari tanah Khaibar dan sahabat memancas panah-panah tersebut dengan kemahiran pedang mereka dan sahabat akhirnya terkena tusukan panah di dada.

Tidakkkk!

Ada airmata gugur di tanah Khaibar. Ya Allah. Batu-batu di Bukit Uhud akan aku jadikan peluru buat menamatkan langkahan musyrikin. Allah Hu akbar. Ummu Ziyad Al-Asyja’yah! Nama mu hidup dalam nur Islam kerana cekal hatimu seperti batu-batu di Bukit Uhud.

Perempuan 2.

Karbala! Satu lagi medan menguji kukuhnya hati wanita syurgawi. Debu dan rimbun ribut pasir sebenarnya ujian yang harus ditempuhi dengan nyawa dan airmata.

“Kesatlah airmatamu wahai anakku,”

“Ayah...”

“Kepergianku daripadamu terlalu panjang,”

“Tapi...”

“Simpanlah sedikit airmatamu untuk hari esok kerana hari esok itu tidak jauh.”

Perempuan yang pandai bersyair dan hebat di dalam bidang sastera itu mendiamkan diri sejenak. Di renung jauh ke dalam mata ayahnya yang ditabiri peluh perjuangan dan rembesan airmata. Terpamur keikhlasan hati seorang pejuang yang pantas bermain pedang dan hebat menunggang kuda sambil memanah. Terpantul keikhlasannya untuk menewasakan musuh kerana dia tahu. Karbala adalah sebuah laman yang sepatutnya berada didalam genggaman Islam.

“Kau tak gentar dengan tajam mata pedang musuh?”

“Tidak!”

“Kau ingat dengan syairmu akan dapat menewaskan musuh?”

“Kalau ALLAH qadakan permintaanku, InsyaALLAH.”

“Kau lihat gugurnya ayahmu?”

Dia menganggukkan kepalanya beberapa kali.

“Kau tak gentar untuk hadapi mereka?”

“Yang aku gentar adalah ketidaksempurnaan janjiku terhadap ALLAH.”

Sahabat hanya mendiamkan diri. Di renung jauh ke dalam wajah sahabat bermata pahlawan dan penyair itu. Biarpun ada kesedihan dan kristal duka di wajah itu namun sahabat yakin. Satu waktu kemenangan tetap berada di pihak Islam.

“Akan aku jadikan guguran itu satu wadah perjuanganku,” janji penyair.

Sahabat diam. Diperhatikan panah yang berada di tangannya. Ternyata ada darah di panah tersebut. Barangkali darahnya yang menitis menimpa bilah-bilah panah yang tajam meruncing di dalam genggaman tangannya atau barangkali juga panah itu dikutip dimedan pertempuran. Mungkin juga panah itu kepunyaan kaum musyrikin yang telah menebuk badan atau bahu teman seperjuangannya.

Ayahndaaaa! Sesungguhnya orang yang seperti cahaya, yang menerangi segala-gala, telah terbunuh di Karbala, dan tubuhnya tidak dikuburkan, dahulu engkau laksana gunung, yang aku berlindung kepadanya, dan engkau dampingi kami, sebagai keluarga dan dalam agama, siapa lagilah yang mengambil berat, kepada anak-anak yatim dan para peminta, siapa lagilah, yang mengayakan tempat berlindung, si orang miskin yang tidak berdaya.

Sukainah Al Husin! Sastera dan sayu syairmu rimbun dalam dada pejuang Islam yang syahid di Karbala.

PEREMPUAN 3

“Kalau dapat ku himpunkan kesemua airmata ni, akan ku berikan airmata ni padamu suamiku buat menghilangkan dahaga.”

Apa lagi yang mampu suami berikan buat membalas tutur baik daripada isteri yang tertambat dengan rantai besi di tengah saujana padang luas berhangatkan cahaya matahari dan batu bukit selain dari jutaan kesyukuran. Apa lagi yang upaya isteri nyatakan selain dari itulah ungkapannya.

Bila sudah tertawan oleh musuh, bukan mudah untuk melepaskannya walaupun musuh itu pada satu ketika adalah sahabat baik kita sendiri. Itulah dunia. Kalau hidup bertumpangkan nafsu, akhirnya benda yang baik jadi keliru. Kalau hidup ditumpangi kejahatan dan iri hati, akhirnya menjadi duri menikam diri.

“Tuhan! Tolonglah hambamu ni,”

“Sabarlah suamiku,”katanya perlahan penuh simpati dan nestapa. “Aku juga sepertimu. Dirantai dan mungkin juga dibunuh kejam oleh musuh yang pernah jadi sahabat kita.”

“Ohhh!”nada kesal tercetus di bibir suami ketika rantai besi menjadi makin panas dibakar cahaya matahari tinggi.

Tanpa sebarang perteduhan cuma sesekali ada awan mendung yang melindungi tubuh mereka dilangit jauh, siksaan demi siksaan terus diterima tanpa sedikit ihsan. Barangkali itulah manusia jalang berhati setan yang bencikan Islam. Barangkali itulah rupa lelaki yang bakal dibunuh oleh tentera Islam satu ketika nanati. Apakah dengan penyiksaan ini akan berkahir Islam di bumi Illahi ini? Atau penganutnya akan bertempiaran lari kerana takutkan penyiksaan ini?

Tidak!

“Siksaan ni hanya akan melukai tubuhku tetapi tidak melukai iman dan tekadkuuu!” ujar si isteri berhati perkasa.

“Apa?” marah si tukang penyiksa.

“Bola besi dengan baju besi ni tidak akan memurtadkan kami!” tambah si isteri yang berjiwa wira.

Makin marah tukang penyiksaan. Dengan matanya berbolakan api dia terus menyiksa. Namun si isteri hatinya kukuh melebihi hati suami. Dia tidak menyebut perkataan lain selain dari ALLAH HU AKBAR! Dia tidak mahu pesongkan aqidahnya dengan penyiksaan ini. Barangkali dia di jemput maut kalau dilihat dari penyiksaan yang dilakukan oleh bekas sahabatnya itu.

Namun dia redha. Keredhaan itu kerana dia tahu. Islam itu agung. Islam itu indah dan sempurna. Islam bukan agama keganasan. Yang ganas itu bukannya Islam.

“Kembaliah kau pada kami dan penyiksaan ini akan berakhiR!” itu yang dikatakan oleh tukang penyiksa. Mukanya merah padam seolah-olah sedang memakan api.

“Tidak!” jawab si isteri sambil menggemgagam tangan suami.

“Kau akan jadi seperti burung-burung yang dipanah tu,” tukang penyiksa membuat bandingan. “Kau akan ditinggalakan begitu sahaja tanpa apa-apa kecuali dimakan ulat.”

“Satu hari nanti kejahatanmu akan terbalas!” sanggah perempuan berhati wira. Ada darah di lengannya dan kulit betisnya bergelupas. Mungkin daging betisnya telah masak kerana baju besi dan bola besi. “Kejahatanmu akan tambah takwa akuuu!”

“Nah!”tukang penyiksaan memukul si isteri dengan bola besi.

“Allah hu akbar!” itu yang diungkapkan dibibir si isteri cekal berhati waja.

“Cukuplah dengan penyiksaan terhadap keluarga kami,” ujar si suami penuh nestapa dan ngilu.

“Tidak!” sanggah si tukang penyiksa. Diangkat tinggi bola besi kemudian di pukul kuat di betis suami.

“Ya Allah!”ungkapan itulah yang kekal di dalam hati dan diri si suami berhati perkasa.

“Nah!”

“kan aku dah cakap! Penyiksaan ini akan tambah imanku!” tukas si isteri lambat-lambat sambil kedua belah telapak tangannya merasal batu-batu yang berada di bawah dadanya.

Tukang penyiksaan tersenyum. Tombak diangkat tinggi dan akhirnya dibenamkan di dada isteri setia.

Sumayyah! Kaulah sebenarnya motivasi jihad buat generasi mendatang!

PEREMPUAN 4

Tanah Uhud hak aku! Bukan hak Quraisy. Bukan milik musyrikin. Tanah Uhud adalah lambang kehebatan Islam. Bukan aku hendak bermegah dengan apa yang aku katakan di sini. Tetapi itulah aku. Bermain pedang dan menjamah darah musuh sudah biasa bagiku.

Musailamah!

Kaulah petualang di bumi Arab. Akan ku tentangmu kerana kau telah lakukan dosa terhadap ku. Kau telah khianati Islam. Kau telah cemarkan keindahan Islam. Kaulah yang telah membunuh puteraku Hubaib!

Aku telah berjanji pada diriku dan suamiku, Zaid bin Ahsim. Aku akan tentangmu dan aku sendiri akan pancung kepalamu. Biarpun aku mungkin terkorban, tapi aku puas kerana aku telah tunaikan apa yang telah aku simpan di dalam hati.

Aku sudah banyak pengalaman perang. Tanganku terpotong kerana perang Yamamah. Aku tidak kisah di gelar srikandi bertangan satu. Realitinya begitu. Bertangan satu bukan bermakan aku akan tewas. Yang satu itu ada hebatnya. Tuhan taqdirkan aku bertangan satu dan dalam masa yang sama Tuhan kurniakan aku jitu hati srikandi. Akan aku gunakan kejituan itu untuk Islam. Akan aku gabungkan penderitaan ku bersama duka suamiku ketika aku hadapi Musailamah.

Musailamah! Bersedialah kau untuk rasa sakit dan derita dari ibu dan isteri seorang pahlawan.

“Dengan tanganmu yang satu, kau akan tentang munafik tu?”

“Telah aku tekadkan dalam hatiku begitu,” ujarnya. “apa yang ku tekadkan itulah yang akan aku persembahkan. Aku akan tuntut bela di atas kematian anaku.”

“Aku faham,”

“Kalau kau faham kau tak sepatutnya simpan bimbang di dalam hatimu,”

“Aku tak bimbang cuma...”

“Kerana aku bertangan satu?”

Sahabat hanya upaya lontarkan keluhan.

“Ternyata ada gundah dalam hatimu,”

Sahabat mengeluh lagi.

“Akan aku buktikan bawa apa yang terluka di Yamamah akan aku ubati di Uhud nanti,” janjinya penuh keberanian.

Sahabat tidak upaya menyurutkan suhu keberanian srikandi bertangan satu. Ternyata apa yang mahu dinyatakan oleh sahabat bukan sesuatu yang boleh diterima oleh srikandi pintar panah dan pedang itu. Benarlah perumpaman yang pernah didengarinya ketika dalam perang Hunain: Tekad itu bukan mudah untuk disurutkan kalau apa yang berlaku itu telah lukai hati seseorang.

Di kalangan Anshar, Khazraj, Mazin juga orang Madinah dialah srikandi berhati seteguh bukit Uhud. Dialah srikandi berpuput bayu jihad sekencang angin di tanah Yamamah.

Terbayang diruang mataku saat kau memotong tubuh puteraku, Musailamah. Lewat tragedi itu masih ku dengar laungan dari putera yang paling ku sayangi. Ternampak olehku linangan airmatanya menuruni pipi nya sebelum jatuh menimpa debu dan batu-batu di bumi Yamamah. Musailamah, munafik mu akan ku balas dengan tajam pedang daripada arwah suamiku. Aku sayang Hubaib. Dia puteraku yang memiliki kehebatan seperti arwah suamiku. Tanganku yang terpotong akan aku gantikan dengan kepalamu.

“Serahkan tugasamu kepada sahabat suamimu,”

“Tidak...”

“Tapi..”

“Aku tak fikirkan tentang tanganku yang satu ni tapi aku fikirkan tentang Islam yang satu,”

Sahabat diam. Dia menundukkan kepalanya. Sesekali dia merenung bukit Uhud yang juah. Sejenak dia gambarkan semula perang Yamamah yang telah mengorbankan anak dan suami sahabat.

“Aku akan korbankan segalanya demi Islam,”

“Sahabat...”

“Kalau kita inginkan Islam tu gah di dunia ni marilah kita bersatau di bawah satu semangat,”

“Tapi...”

“Jangan jadikan hal-hal kecil sesuatu yang besar,”

“Sahabat...”

“Kuda sudah berada di lapangan,”dengan tangan terpotong sahabat menelan liurnya. “apa lagi yang kita mahu kerana panah dan pedang kita telah tajam melainkan kita turun sahaja ke medan perang, bukan setakat menentang Musailamah tetapi membunuhnya!”

Siup! Siup!

Panah dengan mata pedang berselisih di atas kepala. Lompatan kuda lasak dan gah di dalam peperangan mengkalutkan lagi keadaan.

“Sahabat!”

“Ada apa sahabat?”

“Musailamah!”

“Apa?”

“Abdullah bin Zaid putera sahabat yang membunuhnya,”

“Ohhhh!”

“Tuhan tentukan yang Musailamah terkorban bukan di tangan sahabat.”

Sahabat diam lagi. Dia bersyukur kerana darah dagingnya juga yang membunuh munafik itu.

Nusaibah binti Ka’ab Al-Ansyariyah, srikandi bertangan satu. Kaulah panglima dalam sebarkan nur Islam. Akhirnya piala perempuan syurgawi tetap milikmu!


Sabtu, 27 September 2008

DI LEMBAH BARAKAH





Sudah cukup lama dia tidak kunjungi sejuk lembah barakah. Sejak dia bergelar hartawan, dia seakan jijik untuk lewati laman yang pernah dia tanam pohon hajat dan semai benih tahajjud itu. Sejak namanya merentas separuh daripada muka dunia ini, dia seakan segan untuk memijakki lembah yang pernah dia temui akar-akar witir dan bunga iktikaf, apa lagi untuk mencium harum bunga qiamulail. Dulu, dialah pengutip bunga bunga iktikaf. Dialah yang membersihkan laman terawih. Dialah penghuni lembah barakah yang banyak sekali menyimpan manuskrip sejarah Islam. Dia fasih bercerita tentang pahlawan Islam, Usamah bin Zaid. Al-Ala bin Al-Hadhrami, malah dia juga tahu kisah Utbah Ibn Ghazwan, Tariq bin Ziyad, pahlawan Abdullah bin Masud yang terlibat dalam Perang Badar serta pahlawan Abdullah Bin Rawaha yang terlibat dalam Perang Mu,tah.

Rentetan kisah-kisah wanita syurgawi tetap meniti di kelopak bibirnya. Kisah Umayyah binti Qais Al-Ghifariyah , seorang jururawat ketika dalam peperangan sentiasa segar dan hidup dalam relung ingatannya. Kisah Ummu Sulaim binti Malham, ceritera Sumayyah binti Hubbath yang disiksa bersama anaknya Ammar dan suaminya Yasir oleh Abu Jahal, benar-benar menginsafkan dia, apa lagi dengan citrawara jururawat tauladan Rufaidah Al-Anshariyah yang menjadi idola penyair Ahmad Muharram dalam kumpulan karangannya yang berjudul Al-Ilyazah Al-Islamiyah. Semuanya fasih diceritakan tatakala dia mendiami rumah insaf di lembah barakah.

Waktu dia menjadi penghuni lembah barakah, dia juga pintar berkisah tentang masjid-masjid di Madinah. Malah dia pernah bercerita latar sejarah Masjid Quba, masjid yang terletak di sebidang tanah milik Kalsum bin Hadam. Dia juga tahu titik sejarah Masjid Jumaat, masjid yang berceratuk di Lembah Ranuna. Masjid Khomsah yang tersergam di Khandaq daerah pergunungan Sila’ di pinggir kota Madinah, juga dia fasih arif titik sejarah masjid itu. Masjid Fadhih, Masjid Bani Quraizah, Masjid Masyrobah Ummi Ibrahim, Masjid Ijabah dan Masjid Qiblatin yang mempunyai dua mihrab, kisah Masjid Jabal Uhud, di ceritanya penuh teratur dan teliti.

Telaga-telaga bersejarah di tanah bercahaya itu juga dia simpan sejarahnya. Kisah Telaga Aris pernah di hafal lancar di bibir. Telaga Ghurus, Telaga Raumah, Telaga Bidha’ah, Telaga Anas bin Malik bin Nadhar, malah kisah Telaga Quraidhah juga dia tahu siratan sejarahnya.

Lembah barakah yang mengalirkan air keinsafan dan tulus taqwa sudah lama benar tidak dikunjungi. Laman yang direndai dengan hijau daun doa, taman tahajjud, wilayah witir, dan tanah terawih itu sudah jauh ditinggalkan, apalagi hendak diziarahi. Dia tinggalkan lembah barakah kerana sekelumit harta dan kebun kemewahan. Dia jijikkan tanah barakah kerana kekayaan secebis. Benarlah tutur orang, harta kadang-kadang boleh jadikan manusia palsu. Kini kebun kemewahan yang dipinjamkan sekejap itu sudah ditarik balik dan dia ditamui kemiskinan, lalu dalam guliran air mata yang berkaca, dia kembali bersimpuh dan meletakkan tulus diri di lembah barakah

Longlai langkahnya disusun, menjunamkan hujung kakinya tanpa sepatu ke lembut lembah barakah. Guliran air matanya di batas pipi kelihatan bersinar bila terkena tangkupan cahaya dari bola matahari senja yang melambungkan gabungan warna sayu kuning pinang masak . Ternyata tanah situasi di lembah barakah itu betul-betul mengoyak keangkuhan dan meletakkan ngilu di hatinya. Pokok-pokok bunga yang ditinggalkannya dulu, kini sudah menjadi pohon rendang dengan luahan bunga-bunga indah yang menerbitkan berbagai bau. Luluh hatinya bila bau-bau yang bervariasi itu menusuk kelopak hidungnya.

Tik!

Guliran airmata pertamanya yang sekian lama bertahan di batas pipi, bergolek jatuh ke atas licin dada daun-daun di lembah barakah. Cantik sinar itu masih sama seperti cantik sinar yang pernah ditontonnya ketika dia tinggal di lembah barakah dulu. Perlahan-lahan diangkat guliran airmatanya itu, kemudian dijamahnya penuh sayu. Suam titik itu masih sama seperti yang pernah dijamahnya detik silam. Perlahan-lahan dia bingkas berdiri.

Allah hu akbar, dulu itulah tuturnya yang selalu diucapkan. Bila dia berada di puncak keagungan, ucapan itu cukup jarang terloncat dari lorong kelopak bibirnya. Dan kini dia ucap kembali tutur itu dengan penuh ngilu di ulu hati, bila dia bersimpuh di sempadan kesempitan. Perlahan-lahan dia mengesotkan hujung jari kakinya. Dan kaki yang tidak bersepatu itu di atur longlai ke hilir. Sekuntum bunga segar di lembah barakah tiba-tiba terpangku di ribaannya. Di kutipnya bunga tersebut, ditatap perlahan penuh insaf.

Bunga terawih. Bisik hatinya.

Di tatapnya bunga itu dengan pandangan penuh sayu. Keluhannya tercurah inti insaf. Cukup lama dia tidak memandang bunga yang hanya kembang dalam bulan Ramadan ini. Airmatanya menjurai menimpa kelopak bunga yang lembut itu. Di beleknya kelopak bunga ramadan itu satu persatu.

Kelopak pertama, kelopak taubat. Airmatanya bergulir lagi bila melihat kelopak tersebut. Sepatutnya dia sudah lama membelek kelopak itu, kerana hal-hal taubat sebenarnya sifat yang perlu wujud dalam diri muslim untuk bebaskan diri daripada dosa. Tapi entah kenapa dia tiba-tiba sahaja jadi alpa. Jadi perahu yang tidak berkemudi. Jadi pokok yang tidak bertunjang. Dia akhirnya jadi kiambang yang mengikut anak alur air. Sepatutnya dulu lagi dia mencium bunga ramadan sambil membelek kelopak taubat dan tidak memandang remeh dosa kecil yang mendorongnya melakukan dosa besar. Sepatutnya sudah lama dia muhasabah dirinya, bukan bermegah dengan apa yang dimiliki sambil sedia mengaut rahmat dan kasih sayang Allah S.W.T. yang melimpah ruah. Dan airmatanya jatuh lagi bertaburan di atas tajam hujung rumput yang menghijau di lembah barakah bila mengatur silap lalunya.

Bingkas berdiri, dengan tangan masih memegang bunga ramadan, dalam longlai tapak yang tidak lagi bersepatu, dia menuju ke hilir lembah barakah. Pandangannya yang berbalam kerana dilitupi airmata penyesalan, disapu dengan perut jari. Isak kecilnya terutus di copeng telinganya. Biarpun perlahan tapi sendat berisi ngilu.

Kelopak ke dua bunga Ramadan diperhatikan. Kelopak istigfar. Tapi lidahnya seakan kekok dan kelu untuk zahirkan ucapan istigfar. Dia tahu. Istimewanya istigfar, tapi entah kenapa, tiba-tiba sahaja tuturnya seakan tertutup dan hilang dalam kerongkong untuk aturkan murni ucapan tersebut. Dia tahu, istigfar mententeramkan hati yang sedih dan berdukacita, menghilangkan kesusahan dan melunaskan rezeki serta menunaikan segala hajat, membersihkan hati daripada lalai dan lupa dan mampu menerima tiap-tiap sesuatu itu dengan ketenteraman iradah dan kudrah Allah. Istigfar juga mengkafarahkan sepuluh dosa, serta menjadi titi untuk menuju Hasanul Khatimah. Tapi semua itu tidak upaya diucapkannya kerana dia sudah lama tidak kunjungi lembah barakah. Dia sudah jauh tinggalkan lembah yang dihiasi dengan bunga-bunga witir, tahajjud dan qiamulail itu. Dia terkepung oleh nafsunya sendiri.

Tik! Gelungsuran airmatanya jatuh lagi menimpa kelopak bunga ketiga. Kelopak ketiga kali ini membawa cahaya sedekah. Dan airmatanya menitis lagi kerana cahaya sedekah yang pernah dipandangnya silam, sudah terpisah dari dalam dirinya. Soal budi dan budiman juga sudah jauh meninggalkan dirinya setelah dia agak lama tidak menziarahi laman barakah.

Kelopak bibirnya dikacip dan dia mengemam lagi airmatanya. Kekesalannya kerana peristiwa silam sudah banyak mengajarnya erti tanda hidup dan kehidupan. Dia pun tidak tahu, kenapa tiba-tiba sahaja dia menjadi manusia yang bencikan lembah barakah, sedangkan dilembah itulah dia selalu bercucuk iman dan bertanam amal. Di subur lembah itulah dia menugal nikmat dan mengutip pucuk-pucuk kenikmatan yang segar menghijau. Barangkali kerana dia disaluti nafsu amarah, dibaji kemegahan lalu dia hindarkan diri dari hadir ke lembah barakah.

Kelopak iktikaf di belek. Ternyata kelembutan kelopak itu sudah lama tidak dijamah. Dan kini dia kembali bertekad untuk menjamah lembut kelopak itu sambil mencium bunga Ramadan setelah cukup lama bunga itu tidak di pandang dan diciumnya. Dulu dialah penghuni masjid di lembah barakah. Dialah yang membaiki kolah di masjid tersebut. Lima kali sehari dia laungkan azan memanggil jemaah mengerjakan solat. Tapi setelah dia berada di puncak dunia, dia tidak lagi memandang rumput di bumi sedangkan dia tahu hijau rumput sebenarnya sebahagian daripada kebesaran Illahi. Kini menara nama yang gah di tunjuk langit kehidupannya, sudah tumbang dan dia tidak perolehi apa-apa kecuali kesalan dan airmata. Lalu bila tiba saat ujian begini, dia cuba bandingkan dirinya dengan rumput. Apa guna jadi pohon besar yang tidak berdaun, baiklah menjadi rumput, meskipun kecil tapi rumput yang terbaik di permatang.

Kelopak iktikaf di usapnya perlahan penuh sayu berbalut ngilu. Tanpa di duga, airmata yang bergulir di pipinya, terhambur di atas kelopak yang lembut itu. Antara iktikaf dan ibadah puasa sebenarnya buah perkara yang lebih menghampirkan seseorang kepada Allah. Untuk memegang kelopak iktikaf, mestilah menggenggam bunga ramadan terlebih dahulu. Tapi kemewahan yang sedikit mengalpakan dia untuk terus memegang bunga ramadan, bunga yng paling di sukai waktu menjaga masjid di lembah barakah.

Kini dia kembali ke lembah barakah dengan guliran airmata dan naskah ngilu di ulu hati. Dipegangnyanya bunga ramadan penuh limpah kasih sayang, dicium penuh idaman, dibiarkan kelopak itu basah terkena guliran airmata insafnya.

(ii)

"Barangsiapa yang mengerjakan puasa di bulan Ramadan dengan penuh keimanan kepada Allah dan benar-benar mengharapkan keampunan, nescaya Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu."


Jumat, 26 September 2008

SERIKANDI TANAH MERDEKA


MATA senjata tumbuk lada yang melengkung bongkok udang itu, ditatap tegap dalam petala pandangan sang srikandi. Pintu maling rumah, berdinding papan janda berhias dan papan jenang itu, ditatap lagi dengan tajam renungan. Sesekali dinding ukiran cantik dari motif bunga kala bukit, bertindan bunga lawang, berayunan dalam geram kerlingannya. Kain batik lepas bersusun wairon masih membaluti tubuhnya. Senjata yang lebih kecil daripada keris itu di hiasi dengan unik ukiran halus disaluti perak.

“Aku akan ubah tubir derita ni!” Srikandi mencabut mata senjata budaya Melayu yang tampan dan indah itu, “laman ni lamanku! Rumah ni rumahku! Aku takkan berpindah!”

Srikandi menyusun tatapan ke selasar senjata yang sama tampannya dengan keris itu. Tunam kebenciannya pada zalim tentera Jepun makin tumpat. “Aku dilahirkan dari tutur hulubalang!” Garing pasir di laman rumah ditumbuk padat! “Aku takkan undur dan alihkan tumpat tapakku dari tanah lahir ni biarpun berkecai jasad ni!” janji Srikandi.

Hulu senjata tumbuk lada yang dibentuk dari kayu kemuning urat beriringan ditatap lagi, “aku akan tentang bajingan yang menghancurkan maruah keluargaku!” Hulu berhias bunga sodok dan putik di hujung itu, cukup nyalang bila terkena simbahan cahaya matahari. “Keluargaku bukan barang dagangan! Maruah mereka sama dengan maruahku!”

Srikandi bingkas berdiri. Mata senjata tumbuk lada dimasukkan semula ke dalam hangat bilik sarung, berukiran tebuk tembus, bergelang puyuh dan tanduk itu. Langkah hanuman menerkam musuh dipersembahkan sepenuh sifir kebengisan, dengan sulur senjata tampan itu masih tercekak cergas dalam genggaman. Jari-jari runcing kini tidak lembut lagi. Jari yang panjang seperti sepit udang galah itu sudah acapkali menumbuk dan menikam garing pasir dan halus batu di laman rumah. Hujung jari milik perawan itu sudah bersedia dan upaya untuk menentang kejahatan manusia.

“Kenapa keluargaku dipancung?” Srikandi mengetip bibir. Matanya bersinar banar menatap sahabat serumpun yang bersimpuh di atas tikar pandan bercorak sisik kelah dan kisar mengiri. “Apa salah mereka?” Srikandi menepuk gelegar rumah.

Sahabat diam. Keluhan kecil terpantul dari hujung kelopak garing. Ternyata keluhan itu juga memburai kesalan berlanjutan.

“Kenapa keluargaku sahaja yang dikutip untuk siapkan jalan keretapi maut di Burma? “ Srikandi menepuk birai pagar larik. Bergetar pagar larik tersebut. ” Kenapa tidak keluarga lain?”

Sahabat bungkamkan diri bersama keluhan yang bersusun.

“Kezaliman ni akan ku tentang!” Kembali menepuk birai pagar larik, dia melepaskan satu sepakan silang berisi perjuangan.

Sahabat yang bersimpuh di atas tikar mengkuang bercorak kisar mengiri dan sisik kelah itu diterpa kasima. Dia tidak menduga begitu pantas hebat Srikandi memamerkan buah persilatan Melayu. Dia tidak menyangka. Kaki kecil yang tirus panjang itu upaya menyentuhi kayu alang di sutuh rumah. Dan kaki itu juga hampir-hampir merombak sutuh rumah yang bersiku kelawar ukir bunga daun saga kenering.

“Aku mesti tegakkan kemerdekaan!” Srikandi berpusing di atas tumit. Senjata tumbuk lada bermata bongkok udang balik sumpah dan tajam sebelah itu di gapai gaseng. Siup! Matanya disentak pantas seperti hanuman menyentak keris. “Orang yang kejam adalah musuh Tuhannnn!” Srikandi tunduk tafakur bersama senjata tumbuk lada dalam gemggaman.

Sahabat mengalihkan tapak kedudukannya. Dari tikar pandan bersisik kelah dan kisar mengiri, ke tikar mengkuang bercorak kelarai berati berkaki. Pandangannya tidak teralih pada teguh hebat persilatan Srikandi. Depaan tangan Srikandi bermumbu kemerdekaan. Silangan kaki Srikandi bertemin perjuangan. Peluh-peluh yang bertaburan dari tubuh Srikandi berbenih tanah air.

“Cacing yang kecil menggeliat bila diinjak-injak!” Srikandi berpusing lagi selepas tamat tafakur. Pusingan di atas tumit itu ligat seperti gasing uri di atas tapak uri. “Burung dara akan mematuk untuk lindungi telur yang dieramnya. Dan akulah burung dara itu!” Srikandi sekali lagi mendamik birai pagar larik. Pagar itu bergetar. “Merdeka!”

**************

“Di mana kau sembunyikan suamimu?! Di mana?!” Tingkat gempa suara herdikan lelaki bertopi kelabu, bagaikan halilintar, menebuk terus gegendang telinganya. Pengcekah senjata itu sudah lama ditarik dan jarinya sudah dimasukkan ke rumah picu senjata. Benet yang tajam bersinar di hujung senjata itu dihalakan ke perut Srikandi.

Srikandi mengacip kelopak bibir garingnya. Kegeramannya pada lelaki bertopi kelabu makin bingkas. Rambutnya mengerbang namun niat dan cekal hatinya tetap berkembar. Tangannya masih tertuas pada gerigis dan bonggol pohon getah. Peluh-peluh perjuangannya bertaburan dan berbenih lagi di bumi Illahi. Istiqamah dan teguh tekadnya tentang kemerdekaan bergunung dalam semangatnya meskipun terbanir gandalan yang terbujur.

Lurus laras senapang automatik bersaiz 7.62 mm dihalakan ke tubuh Srikandi. “Di mana suami mu?!” Ulang bajingan. Retina mata pengkhianat bangsa pantas merejam pandangan cekal Srikandi. Gempa suara herdikan itu menusuk dan menebuk jauh ke dalam tiub auditori telinga Srikandi. Srikandi tidak menutup tukul dan andas telinganya. Herdikan itu hanyalah cabaran kecil baginya dalam menuntut kemerdekaan. Herdikan itu cuma sulur selumbar yang akan dipatahkan demi sebuah perjuangan.

Srikandi tidak biarkan keresahan mengeceh tekadnya. Bulat laras senjata automatik musuh sebenarnya tidak pernah mengecutkan isitiqamah perjuangannya. Bulat laras senjata musuh adalah bulat kimah kemerdekaan yang bergunung dalam rasanya. Herdikkan dan gangguan gempa suara bajingan, sebenarnya sebuah gempa kemerdekaan. Kebun dan ladang, adalah wadah perjuangan. Penutupan lombong dan kemusnahan tanah lahir adalah tuntutan. Tiap-tiap hak membawa kewajipan. Kemerdekaan tidak akan tercapai dengan menadah tangan. Biarlah dia terkorban di umbi pohon getah asalkan kemerdekaan tercapai.

“Kau nampak ni?” Herdikan bajingan makin bergempa. Muka bajingan merah padam seperti besi yang dibakar. Manusia sebangsa dengan Srikandi itu melakarkan nafas singa, “senjata ni akan menebuk tubuhmu.”

Imej bajingan pada retina Srikandi, sebenarnya imej buruk yang mesti ditentang. Imej bajingan pada otot siliari Srikandi adalah imej bajingan yang tidak mungkin menggugatkan teguh kemerdekaan yang diidamkan. Imej bajingan adalah gerutup imej perjuangan Srikandi. Dan Srikandi terus tegapkan tekadnya. Perjuangan mesti dihimpun demi sebuah kemerdekaan. “Senjata dan peluru ditanganmu. Tapi takdir di tangan Tuhan.” Tegas tekis Srikandi. Gelemair matanya menangkap lagi induk imej pengganas di hadapan laman padang pandangannya

Bajingan meletakkan kemarahannya di laman wajah jendalnya. Lubang laras senjata yang pernah menebuk berbelas tubuh manusia itu terus dihalakan ke arah datar dada Srikandi. Perempuan yang pernah menabur benih pahlawan berkembar hulubalang itu tidak pernah rusuh dengan halakan itu. Halakan itu hanyalah satu permainan dan dia mesti menewaskan pemain yang telah melupakan akar dan tapak tanah kehidupan. Dia mesti tumbagkan bajingan yang menghalang laluan menuju menara merdeka. Bajingan menarik pengcekah senjata automatiknya. Anak-anak peluru berkepala tembaga bersusun di dalam rumah peluru. Preng! Bunyi pengcekah senjata dilepaskan gaseng. “Sekarang beritahu aku! Di mana suamimu?”

“Kan aku dah cakap! Aku tak tahu!” Balas Srikandi. Mukanya sudah banyak bergalur. Namun tekadnya tidak bergalur, tetap teguh seperti bukit di belakang bajingan.

“Tak tahu?” Bajingan menghempaskan but senapangnya ke bumi. Iris matanya merakam seluruh perbuatan Srikandi.

“Bukalah matamu,” Srikandi mengangkat wajah. Wajah iras satria itu menghimpun cekal tinggi “Orang-orang yang kau siksa sebenarnya terdiri daripada bangsamu sendiri.”

“Diam!” Bajingan membuka luas kornea matanya. “Aku tak mahu dengar semua tu. Aku mahu tahu di mana kau sembunyikan suamimu!”

Srikandi tidak menyampuk. Andas telinganya tiba-tiba menangkap bunyi daun-daun kering dipijak. Dia melilau kanta matanya ke kiri dan kanan tanpa pengetahuan bajingan. Dari gaya pijakkan dia tahu, pijakkan itu datangnya dari rakan suaminya. Dia yakin. Pertempuran akan berlaku sebentar lagi dan inilah yang ditunggu-tunggu.

“Di mana suamimu?” Bajingan terus mengulangi pertanyaan dengan membaling pandangan bengis.

Srikandi membalas balingan pandangan itu, “kita serumpun. Kita sama-sama usahakan kebun. Kita majukan lombong. Apakah kerana risalah tu, kau mahu lupakan rumpunmu?!”

“Sudahhhh!” Jari terlunjuk diletakkan di lengkungan picu. “Kau jangan nak subahat. Pihak risikan telah tahu kegiatanmu.”

Srikandi bungkamkan diri. Hal-hal pergerakan suaminya tidak pantas diceritakan biarpun dia kini berdepan dengan maut. Dia sudah bebatkan tekadnya. Apa pun yang membunjur dan gandal dalam pola perjuangannya mesti dipertahankan dipuncak. Soal-soal rahsia dan mutu pergerakan pasukan suaminya, bukan soal mainan. Soal negara. Hal merdeka!

Prap! Prap!

Bunyi gaya pijakan daun kayu menusuk lagi melalui tiub audiotari telinganya. Srikandi khabar dan tahu benar. Cara pijakan dan siulan itu sebenarnya satu rangkaian kata jodoh pergerakan pasukan Deraman Harimau. Gaya itu gaya penuh pejuang kemerdekaan. Kemerdekaan itu kemuliaan dan dia mesti berjuang untuk kemerdekaan. Dia menanti dengan debar tapi sabar pergerakan itu dan dia tahu, pertempuran akan berlaku sebentar lagi.

Karpus dan metakarpus tangan Srikandi terasa pedih bila tali yang mengikat pergelangan tangan itu bergesel dengan bonggol batang getah. Namun Srikandi tetap utuhkan cekal dalam pergerakan dan perjuangan. Halangan yang berbanjar itu sebenarnya satu falsafah untuk gapai kejayaan. Duka yang berganda itu sebenarnya satu syair untuk tunaikan kemerdekaan. Kerana itu Srikandi tidak pernah pamerkan kegelisahan waktu berdepan dengan lelaki betopi kelabu. Laras senjata yang dihadapkan kebatang tubuh Srikandi di terima dengan sabar. Srikandi memasak keyakinan kekal. Kemerdekaan miliknya.

“Di mana suamimu?” Bajingan mengangkat but senjata ke bahu. Anak-anak peluru yang bersusun di dalam rumah peluru sudah bersedia untuk dilancarkan. “Kali ni, senjata ni akan meletup!” Pengcekah senjata ditarik kembali, “cakap!” Pengcekah senjata dilepaskan gaseng. Enjin kerja senjata itu sudah bersedia untuk bekerja. “Cakap!”

Tiba-tiba letupan kuat membelah kesit belantara. Kulit tanah berhamburan tinggi menimpa daun-daun kering di denai dan cerun. Bajingan tumbang tertiarap di bumi.

******************

Srikandi menyimpan senjata tumbuk lada di dalam almari. Tampan dan segak senjata seperti keris dengan mata senjata melengkung bongkok udang bentuk balik sumpah itu, tertulis wadah kemerdekaan. Sarung kayu senjata warisan kemerdekaan yang dikapuh dari kayu kemuning urat beriringan, berukiran daun saga kenering itu ada selampit perjuangan. Kemerdekaan tak tercapai dengan sebutan sahaja. Kemerdekaan itu harus diusahakan dan diperjuangkan. Dan ketika rabas pertama airmata Srikandi menimpa pagar larik rumah Melayu papan janda kayu cengal ukiran tebuk tembus berhias bunga cempaka telur, tedesis sesuatu dari kelopak bibir yang sudah kendur: peganglah teguh-teguh jika engkau mendapat kemerdekaan kerana kemerdekaan itu sedikit sekali dalam dunia ini.